Tag Archives: peacekeeping

PERAN PBB DALAM PENYELESAIAN KONFLIK “ETHNIC CLEANSING” DI KOSOVO

Standard

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Setiap negara berhak untuk merdeka dan menentukan nasibnya sendiri sehingga penjajahan dalam bentuk apapun harus ditumpas dari muka bumi ini. Hal ini tercermin dalam prinsip the sovereign equality of nations, di mana semua negara bermartabat sama.[1] Akan tetapi  sayangnya, masih banyak terjadi pertentangan antar negara yang menunjukkan bahwa negara- negara kecil sulit untuk mempertahankan kedaulatannya dari intervensi negara besar. Intervensi negara besar ini kebanyakan berupa force yakni ancaman yang dinyatakan secara eksplisit, sebagai contoh adalah serangan militer.[2] Force yang merupakan salah satu unsur dari power  sebuah negara, seringkali makin menyudutkan pihak yang lemah dan menimbulkan banyak kerugian.

Di sinilah rentan terjadinya pelanggaran-pelanggaran hak warga sipil yang menjadi korban. Pelanggaran hak warga sipil makin marak terjadi manakala konflik kini tak lagi terjadi antar negara. Bahkan pertentangan internal dalam sebuah negara sangat berpotensi terjadi dan menimbulkan efek yang demikian besar. Hal inilah yang terjadi pada tahun 1991 – 2007 di Kosovo, negara bekas Yugoslavia. Konflik internal antara etnis Serbia yang berusaha menguasai dan “membersihkan” Kosovo dari etnis Albania yang mendominasi proporsi penduduk Kosovo, fenomena ini seringkali disebut juga ethnic cleansing.[3] Konflik ini makin panas karena adanya campur tangan pihak lain seperti NATO.

Untuk mengatasi permasalahan yang mengancam kedamaian dunia ini dibutuhkanlah sebuah aktor yang dapat mengendalikan dinamika negara-negara tersebut. Aktor yang sangat berpotensi untuk menjalankan peran penting tersebut adalah United Nations (UN) atau Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). PBB sebagai organisasi internasional memiliki akses lebih untuk menangani permasalahan yang terjadi di seluruh belahan dunia, termasuk masalah yang terjadi di Kosovo.

PBB memberikan mandat kepada Dewan Keamanan untuk melakukan tindakan yang dianggap perlu pasca terjadinya konflik antar etnis di Kosovo dengan membentuk UNMIK (United Nations Interim Administrations Mission in Kosovo) pada 10 Juni 1999. UNMIK diharapkan dapat memulihkan kondisi Kosovo yang sekian lama bergejolak dan berhasil memproklamasikan kembali kemerdekaan mereka pada 17 Februari 2008. Akan tetapi usaha tersebut tidak semudah itu dijalankan, reaksi beragam muncul dari masyarakat internasional. Bahkan ketika kemerdekaan Kosovo tidak diakui oleh beberapa anggota tetap Dewan Keamanan, seperti Russia dan China, langkah Kosovo untuk bergabung ke PBB menjadi sulit.

Berbagai asumsi muncul menanggapi penolakan Russia tersebut dan juga langkah Amerika dan Uni Eropa yang mendukung kemerdekaan Kosovo. Kecurigaan akan adanya infiltrasi kepentingan dalam kasus Kosovo ini kemudian mempertanyakan status PBB sebagai organisasi yang netral dan benar-benar menjalankan fungsinya dengan baik.

Tujuan Penulisan

Kasus pelanggaran HAM yang masih saja terjadi patut untuk dicermati. Menganalisa bagaimana masalah-masalah yang berkaitan dengan pertentangan kepentingan, baik dalam lingkup antar ras, etnis, kelompok, atau golongan dapat terjadi, menjadi hal yang penting untuk menciptakan dunia yang lebih baik bagi masyarakat.

Mengawasi bagaimana sebuah organisasi internasional, sekelas PBB, menjalankan tugasnya dapat membantu kinerja sebuah organisasi ke arah yang lebih baik. Dengan demikian PBB dapat menyelesaikan perkara-perkara terkait pelanggaran hukum internasional dengan adil dan akan menciptakan dunia yang kondusif bagi seluruh negara tanpa terkecuali. Oleh karena itu, melalui pendekatan fungsional[4], karya tulis ini akan menganalisa dan mengevaluasi bagaimana kinerja dan netralitas PBB dalam menangani Kosovo pasca konflik etnis. Sehingga masyarakat akan memahami kinerja PBB lebih dalam dan hal ini menjadi umpan balik bagi PBB dalam menjalankan tugasnya, terutama terkait isu pelanggaran HAM. Untuk mendapatkan pemahaman akan pelanggaran HAM dan evaluasi PBB stersebut maka karya tulis ini disusun.

Rumusan Masalah

Untuk mempermudah pemahaman dan pembahasan, maka dirumuskan masalah-masalah sebagai berikut:

  1. Sejauh manakah “ethnic cleansing” di Kosovo melanggar HAM?
  2. Bagaimana kinerja PBB terkait pemulihan Kosovo dan sejauh mana infiltrasi kepentingan mempengaruhi keputusan yang diambil PBB?

BAB II

PEMBAHASAN

Pasca runtuhnya Yugolavia, terjadi perebutan wilayah yang kemudian menimbulkan konflik-konflik baru yang berkepanjangan. Konflik Kosovo kemudian berkembang menjadi isu pelanggaran HAM karena terjadi peristiwa “ethnic cleansing” atau pembersihan etnis yang melibatkan kaum Serbia sebagai offender terhadap etnis Albania, etnis muslim Kosovo. Peristiwa ethnic cleansing ini menjadi sebuah tindak kejahatan akan HAM karena serupa dengan genosida seperti yang dilakukan Adolf Hitler melalui NAZI terhadap kaum Yahudi.[5]

Ethnic cleansing sendiri dipahami sebagai sebuah tindak kejahatan kemanusiaan dimana terjadi tindakan untuk menghilangkan etnis tertentu. Dengan menggunakan taktik-taktik meneror seperti penculikan, pemerkosaan, dan pembunuhan, para penjahat etnis ini berusaha untuk memaksa etnis tersebut untuk meninggalkan tempat tinggal mereka atau membunuh massal masyarakat etnis tersebut.[6] Sehingga daerah tersebut bersih dari etnis yang mengalami ethnic cleansing tersebut. Peristiwa inilah yang menimpa etnis Albania di Kosovo.

Akar Permasalahan Ethnic Cleansing Kosovo

Kosovo merupakan sebuah propinsi yang dibentuk pada tahun 1945 sebagai daerah otonom dalam wilayah selatan Republik Serbia yang juga bagian dari Republik Federal Yugoslavia. Kosovo mengalami sejarah konflik yang sangat panjang dan kasus ethnic cleansing Albania merupakan salah satunya.

Pada masa pemerintahan Slobodan Milosevic[7], terjadi pembantaian massal etnis muslim Kosovo, Albania oleh etnis Serbia pimpinan Milosevic. Awal konflik ini dimulai ketika terjadi referendum oleh etnis Albania pada tahun 1991 yang menyatakan pemisahan diri dari Federasi Yugoslavia dan Republik Serbia. Referendum ini sendiri juga merupakan akumulasi kekecewaan kaum Albania yang merasa didiskriminasi oleh pemerintah Serbia. Walaupun etnis Albania mendominasi proporsi 2 juta warga Kosovo (90 %), akan tetapi pemerintah Serbia justru tidak pernah mendengarkan aspirasi kaum Albania. Kaum Albania justru menjadi sasaran kekerasan dan tindakan represif sehingga mereka memutuskan untuk membentuk Kosovo Liberation Army (KLA) yang memperjuangkan kemerdekaan etnis Albania. Hal ini kemudian dianggap ilegal dan menyulut konflik dengan pemerintah Serbia. Selain itu terjadinya gelombang demonstrasi akan kegagalan ekonomi pemerintah akan kegagalan meningkatkan kesejahteraan mereka yang diwarnai sentimen terhadap kaum Serbia juga memperpanas kondisi ini. Pemerintah Serbia yang berusaha mempertahankan kekuasaannya terhadap Kosovo secara frontal melakukan perlawanan terhadap rakyatnya sendiri.

Proses Ethnic Cleansing di Kosovo

Dalam menjalankan pembersihan etnis ini, Milosevic menyerang kaum Albania melalui banyak cara.[8] Cara-cara tersebut dilakukan dengan pemaksaan sehingga kaum Albania tidak bisa mengelak dari pelanggaran kaum Serbia. Pasukan Serbia melakukan pemindahan massal penduduk sipil Albania yang sekaligus merampas rumah dan bisnis mereka. Selain itu terjadi pembakaran rumah secara besar-besaran.

Tindakan tidak manusiawi seperti menjadikan kaum Albania sebagai pelindung militer. Kaum Albania dipaksa untuk menjadi benteng manusia militer Serbia dari serangan NATO. Tidak hanya itu, Serbia juga menawan kaum Albania laki-laki yang berpotensi untuk bermiliter, yang berusia antara 14-59 tahun. Terjadi pula eksekusi mati secara cepat, tanpa pertimbangan hukum. Militer Serbia juga melakukan penggalian mayat, pembakaran, dan penghancuran kuburan massal untuk menghilangkan bukti kejahatan.

Pelanggaran terhadap kaum wanita juga dilakukan, seperti pemerkosaan besar-besaran di Djakovica dan Pec. Pelanggaran kenetralitasan medis dengan menghancurkan fasilitas kesehatan kaum Albania. Justru fasiltas kesehatan digunakan sebagai pelindung untuk aktivitas militer Serbia.

Tindakan paling berimbas besar adalah pembersihan/penghapusan identitas. Kaum Albania secara terpaksa melepaskan dokumen identitas dan kepemilikan mereka, termasuk paspor, kartu penduduk, akte kepemilikan, dan sebagainya. Selain itu, dengan menghancurkan sekolah, rumah sakit, tempat peribadatan, Serbia berusaha untuk menghilangka identitas dan struktur sosial masyarakat Albania.

Perbuatan yang dilakukan oleh militer Serbia ini jelas merupakan pelanggaran HAM dan hukum humaniter, dilihat dari segi kekerasan maupun perilaku diskriminatif terhadap kaum Albania. Diskriminasi telah ditegaskan sebagai sebuah pelanggaran melalui Piagam PBB 1945 (pasal 1 dan 55), Deklarasi Unversal HAM 1948 pasal 2 dan Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya 1966 pasal 2.[9]

Akibat Dari Etnic Cleansing di Kosovo

Tindakan Milosevic untuk memerangi rakyatnya jelas menimbulkan trauma bagi kaum Albania. Intimidasi yang dilakukan pasukan Serbia ini menelan banyak korban, baik jiwa maupun materiil. Banyak kaum Albania hilang, dibunuh, atau menjadi cacat dan jelas menimbulkan penderitaan batin bagi yang menjadi korban kekerasan Serbia. Kejahatan ini telah melanggar Piagam Universal HAM dan Konvensi Jenewa.

Menurut laporan penuntut umum ICTY, Carla Del Ponte[10], sekitar 10.000 jiwa kaum Albania menjadi korban pembunuhan Serbia. Melalui penggalian 195 dari 529 kuburan massal, ditemukan 2.108 tubuh manusia. Sekitar 2.000 orang tawanan Serbia menjadi pekerja rodi dan korban kekerasan fisik. Selain itu lebih dari 1,5 juta orang Albania dipaksa untuk meninggalkan tempat tinggal mereka. Tak hanya itu, sampai Maret 1999 paling tidak 1.200 pemukiman Albania dihancurkan atau dimusnahkan. Terdapat sekitar 100 klinik, apotik, dan rumah sakit yang dihancurkan.

Meskipun demikian, pasca mundurnya pasukan Serbia pada Juni 1999, terjadi pembalasan terhadap kaum Serbia. Penyimpangan hukum kemanusiaan juga terjadi terhadap kaum Serbia. Hal ini meliputi tindakan/undang-undang ganti rugi terhadap kaum minoritas Serbia yang mengakibatkan terjadi pembunuhan 200-400 penduduk Serbia. Selain itu sebanyak 23.000 pembelot, militer, penolak di Serbia diancam dengan tindakan yang dilegalkan.

Pengeboman oleh NATO, Perpecahan dalam Dewan Keamanan PBB, Penyalahgunaan Konsep Bela Diri (Self Defence)

Tindakan Milosevic yang sewenang-wenang kemudian mendapatkan reaksi NATO[11]. NATO yang melakukan serangan udara pada tanggal 24 Maret sampai 11 Juni 1999 yang bertujuan untuk memaksa Milosevic untuk menarik pasukannya dari Kosovo. Operasi yang disebut Operasi Allied Force atau Operasi Noble Anvil (AS) dilakukan untuk menghancurkan infrastruktur militer Serbia, serta jembatan dan pabrik.

Operasi yang tidak mendapatkan mandat resmi dari Dewan Keamanan PBB ini dikecam oleh banyak pihak. Hal ini terkait dengan penyalahgunaan konsep bela diri dalam sistem keamanan bersama (collective security) dimana NATO berhak untuk melakukan serangan balasan jika negara angggota diserang. Namun dalam kasus ini, NATO sama sekali tidak mendapatkan serangan dari pihak Serbia dan tindakan gegabah NATO ini jelas melanggar hukum internasional.

Kemudian terjadilah perpecahan dalam Dewan Keamanan. NATO yang disponsori oleh Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis berasumsi bahwa tindakan mereka sudah tepat namun bila dibahas dalam DK pasti akan ditolak oleh Russia yang merupakan sekutu Yugoslavia.  Keputusan NATO ini melanggar pasal 53 ayat 1 Piagam PBB dengan mengabaikan keputusan   dan otoritasi DK. Di sinilah letak kepentingan dan juga makin menonjolnya unilateralisme dalam sebuah organisasi internasional yang seharusnya bersifat universal.

Pasca serangan NATO ini, pasukan Yugoslavia mundur dari Kosovo dan PBB masuk melalui KFOR (Commanded Kosovo Force) yakni pasukan multi-nasional berkekuatan 50.000 pasukan yang bertujuan untuk menciptakan keamanan di Kosovo. Melalui Resolusi DK PBB 1244 tahun 1999, pada bulan Juni 1999, dibentuklah UNMIK (United Nations Interim Administrations Mission in Kosovo) untuk memulihkan kondisi Kosovo.

Masuknya PBB dalam Menangani Kasus Ethnic Cleansing

       Seperti tujuan yang tertera dalam Piagam PBB yakni kedamaian, perkembangan, HAM, dan kemajuan hukum internasional,[12] terjadinya pelanggaran HAM di Kosovo jelas menuntut PBB untuk bertindak dalam memulihkan kondisi Kosovo. Sesuai pula dengan resolusi 237 Dewan Keamanan PBB tahun 1967 bahwa setiap pihak yang terlibat pertikaian harus menghormati HAM seperti yang tertera dalam Konvensi Jenewa 1949, maka diperlukan segera tindakan untuk memulihkan kembali Kosovo agar penduduknya bisa mendapatkan HAM selayaknya.

PBB kemudian memberikan mandatnya pada Dewan Keamanan (DK) yang berwenang membentuk organ subsider dan organ  khusus[13] dalam menangani sebuah perkara. Maka DK kemudian mendirikan ICTY (International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia) untuk mengadili para penjahat perang dan kemanusiaan di wilayah bekas Yugoslavia (termasuk Kosovo) serta UNMIK (United Nations Interm Administration Mission for Kosovo) untuk memulihkan Kosovo pasca lengsernya Milosevic pada tahun 1999.

PBB juga melakukan preventive disarmament (pelucutan senjata preventif) untuk mengurangi jumlah senjata di kalangan penduduk Albania yang masih terdapat peredaran senjata, kebanyakan berupa pistol semi-atomatis, granat, dan ranjau darat.  Usaha ini untuk mencegah pemanfaatan senjata untuk perang di kemudian hari ini dilakukan dengan menggalakkan kampanye Weapons Exchange for Development pada tahun 1999. Hasilnya adalah dalam beberapa bulan lebih dari 5.770 senjata dan lebih dari 100 ton amunisi terkumpul sendirinya di distrik Gramsh. Sebagai timbal baliknya sekitar 100 desa terkoneksikan dengan telepon yang memberi akses bagi penduduk untuk meminta perlindungan kepada polisi dan juga tersedianya lampu jalanan di Gramsh yang menambah rasa aman bagi penduduk sekitar.

Peran UNMIK dalam Pemulihan Kosovo

       UNMIK memainkan peranan penting dalam membangun kembali Kosovo pasca kemelut ethnic cleansing yang menelan banyak korban. Misi yang diemban UNMIK ini cukup kompleks, tidak ada misi seperti ini sebelumnya, meliputi wewenang atas wilayah dan penduduk Kosovo, termasuk kekuasaan legislatif dan eksekutif maupun pengaturan peradilan.[14]

Dalam misi yang dipimpin oleh Utusan Khusus Sekretaris Jenderal, Bernard Koucher tersebut, PBB menggabungkan peran PBB yang mengurusi masalah pemerintahan sipil, UNHCR[15] yang menangani masalah bantuan kemanusiaan,  OSCE[16] yang mengurus bidang demokratisasi dan pembangunan kelembagaan, dan Uni Eropa yang bertangggungjawab dalam hal rekonstruksi ekonomi.

UNMIK memainkan agenda penting dalam hal diplomasi preventif, Peacemaking, Peacekeeping, dan Peacebuilding untuk memulihkan Kosovo.

  1. Diplomasi preventif bertujuan untuk menghindari konflik di suatu negara ketika UNMIK masuk ke Kosovo. UNMIK sendiri mengirimkan KFOR untuk melakukan investigasi, mediasi, dan mendekati pihak yang bertikai sebelum terjun langsung ke Kosovo.
  2. Peacemaking merupakan usaha yang dilakukan untuk mengembalikan perdamaian setelah terjadinya konflik. Usaha ini bisa dalam bentuk mediasi, arbitrase, konsiliasi, dan berbagai jalan damai. UNMIK sendiri diwakili UNHCR menjadi pihak ketiga dalam perundingan upaya damai antara pihak Serbia dan Albania..
  3. Peacekeeping merupakan tindakan penjagaan kedamaian agar tidak pecah konflik lagi, bisa dilakukan dengan penempatan pasukan perdamaian di daerah rawan konflik. Dalam kasus ini, UNMIK memberikan tugas pada KFOR.
  4. Peacebuilding merupakan fase pemulihan pasca konflik, dilakukan dengan merekonstruksi fasilitas publik, kesehatan, pendidikan, serta perekonomian yang rusak akibat konflik. UNMIK bekerjasama dengan Uni Eropa untuk upaya rekonstruksi ini.

Tantangan lain muncul dalam hal mengurus kaum minoritas non Albania, seperti Serbia dan Romas. Kaum minoritas ini tak lepas menjadi kaum yang terintimidasi dan teraniaya serta telantar karena tidak bisa kembali ke Kosovo. Untuk karena itu, UNMIK memberikan perlindungan melalui KFOR, bekerja sama dengan UNHCR untuk memberikan tempat tinggal yang selayaknya.

Peran ICTY ( International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia) dalam Peradilan Penjahat Kemanusiaan Kosovo

ICTY yang bermarkas di Den Haag, Belanda, dibentuk untuk mengadili penjahat dan mengusut para pelanggar hukum humaniter dan kemanusiaan dalam kasus Kosovo. Dibentuk pada 25 Mei 1993 melalui Resolusi Dewan Keamanan No 827, ICTY terdiri dari empat pengadilan (tiga Pengadilan dan satu pengadilan banding), seorang jaksa dan panitera. Terdapat 4 pelanggaran yang bisa diadili: pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa, pelanggaran terhadap hukum atau adat kebiasaan yang berkaitan dengan perang, genosida, dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Dalam kasus Kosovo, ICTY berhasil mengadili Slobodan Milosevic pada 12 Februari 2002. Jaksa penuntut umum, Carla del Ponte merangkum 66 tuduhan kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan, termasuk kejahatan di Kroasia, Perang Bosnia, dan Kosovo.[17] Milosevic akhirnya meninggal di tahanan pada tahun 2006.  Selain itu, sembilan komandan Serbia dan Yugoslavia telah didakwa untuk kejahatan terhadap kemanusiaan dan pelanggaran hukum atau kebiasaan perang di Kosovo.

Jalan Panjang  Menuju Kemerdekaan Kosovo

Kosovo telah menempuh jalan panjang untuk memerdekakan dirinya. Selama secara administratif berada di bawah UNMIK[18], terjadi banyak perundingan untuk mendapatkan pengakuan kemerdekaan. Pembicaraan mengenai status final Kosovo dimulai pada tahun 2006 di bawah  pimpinan khusus Sekjen PBB, Martti Ahtisaari. Namun perundingan ini tidak berjalan mulus karena masing-masing pihak tetap bersitegang dan mempertahankan kepentingannya.

Hingga akhirnya, pada deklarasi kemerdekaan Kosovo yang dideklarasikan pada tanggal 17 Februari 2008. Deklarasi kemerdekaan yang dilakukan oleh Perdana Menteri Hashim Thaci berbunyi, Kosovo akan menjadi negara demokratis yang menghargai hak-hak semua etnis. kemerdekaan ini didukung Amerika Serikat dan beberapa negara Uni Eropa, tetapi ditolak antara lain oleh Rusia, China, dan beberapa negara Uni Eropa.

Namun masalah Kosovo belum berakhir sampai di situ, pengakuan akan kemerdekaan Kosovo ini mempersulit langkah Kosovo untuk masuk ke PBB. Rusia sebagai salah satu anggota tetap DK bersikukuh untuk menolak status Kosovo. Sementara itu negara “liberal” memaksa untuk memberikan kemerdekaan Kosovo. Di sini terlihat jelas betapa tiap negara ingin mengambil keuntungan dari status Kosovo ini. Bila ditelusuri, Amerika dan Uni Eropa akan mendapatkan basis kekuatan baru dari Kosovo. Sedangkan Rusia-Uni Soviet justru kehilangan pengaruhnya di daerah Balkan karena Kosovo berpotensi untuk berpaling ke Amerika Serikat.

PBB kembali terjebak dalam dilema konflik kepentingan antar angggotanya. Meskipun demikian, status kemerdekaan Kosovo telah menjadi  bagian yang setimpal bagi perjuangan kaum Albania selama ini.

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Konflik panjang yang bergulir di Kosovo terjadi karena adanya pertentangan antara kaum Albania dan Serbia, kemudian mengakibatkan terjadinya peristiwa ethnic cleansing terhadap kaum Albania. Pelanggaran HAM yang terjadi ini dipimpin oleh Presiden Slobodan Milosevic yang mengakibatkan jatuhnya korban yang tidak sedikit.

PBB sebagai organisasi internasional yang bertugas untuk menjaga perdamaian dan keamanan dunia pun bertindak dalam menangani krisis ini. Setelah NATO melakukan serangan udara terhadap pasukan Serbia, Milosevic akhirnya lengser. Pasca kejadian itu, PBB mulai masuk ke Kosovo melalui UNMIK dan KFOR. PBB juga berperan melalui ICTY yang mengadili Milosevic dan penjahat perang Kosovo lainnya. Tidak hanya itu, PBB juga memediasi pihak yang berkonflik dan akhirnya tercapailah kemerdekaan Kosovo pada 17 Februari 2008.

Tapi tampaknya Kosovo belum sepenuhnya merdeka lantaran masih ada negara yang bersikukuh menolak status Kosovo sebagai satu entitas yang merdeka. Isu  kepentingan yang meliputi status kemerdekaan Kosovo juga menjadi sebuah persoalan tersendiri. PBB yang seharusnya menjadi sebuah organisasi yang netral harus mengevaluasi diri agar terbebas dari infiltrasi kepentingan anggotanya yang berpotensi mendominasi hak anggota yang lain.

Kasus ethnic cleansing Kosovo merupakan kasus pelanggaran HAM besar yang menjadi sebuah peringatan bagi kita agar berhati-hati. Kedamaian dunia dan HAM adalah aset berharga bagi eksistensi dunia internasional sehingga penegakan hukum internasional haruslah dijalankan seoptimal mungkin untuk dunia yang lebih humanis dan netral.

DAFTAR PUSTAKA

Damayanti, Rizki, SIP, MA. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Jakarta: Greentea, 2010.

Folker, Jennifer Sterling. Making Sense of International Relations Theory. 2006. (www.rienner.com)

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Lembar Fakta HAM edisi II. 2004.

Mauna, Boer, DR. Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global. Bandung: Penerbit P.T. Alumni, 2005.

Neubeck, Kenneth, Mary Alice Neubeck, Davita S. Glasberg. Social Problems: a Critical Approach. New York: McGraw-Hill, 2007.

Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pengetahuan Dasar tentang Perserikatan Bangsa-Bangsa. 2001.

Rover, C. de. To Serve and To Protect: Acuan Universal Penegakan HAM. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000.

Sendy, Muhammad. Upaya-upaya Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Mewujudkan Perdamaian di Bosnia Herzegovina Tahun 1992-1995. 2007. (skripsi)

Starke, J.G. Pengantar Hukum Internasional. Jakarta: Sinar Grafika, 1992.

Sastra, R.B. Suryama M. Bahan Kajian Awal: Menimbang Solusi Permasalahan Kosovo. 2007.

United Nations Departmen  of Public Information. The Millenium Report: the role of the United Nations in the twenty-first century. 2001.

UNMIK. Fact Sheet July 2008. 2008.

US State Department Report, Ethnic Cleansing in Kosovo: an Accounting. 1999.

http://en.wikipedia.org/wiki/Kosovo, diakses 8 Maret 2011 – 14:25 WIB.

http://www.icty.org/, diakses 7 Maret 2011 – 16:00 WIB.

http://www.osce.org/kosovo, diakses 12 Maret 2011 – 11:57 WIB.

http://www.un.org/peace/kosovo/pages/unmik12.html, diakses 12 Maret 2011 – 11:58 WIB.


[1] Prof. Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta, 2008), hal 51.

[2] Rizky Damayanti, SIP, MA, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional (Jakarta, 2010), hal 23.

[3] US State Department Report, Ethnic Cleansing in Kosovo: an Accounting(1999), hal 2.

[4] Fokus pada bagaimana sebuah organisasi menjalankan perannya.

[5] Pengadilan kasus kejahatan kemanusiaan Kosovo melalui ICTY (The International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia) ini merupakan pengadilan penjahat perang yang terbesar kedua setelah peradilan Nurenberg di Jerman yang mengadili penjahat perang Nazi selama Perang Dunia II.

[6] Kenneth J. Neubeck, Mary Alice Neubeck, Davita Silfen Glasberg, Social Problem: a Critical Approach (New York,2007), hal. 82.

[7] Mantan presiden Republik Federasi Yugoslavia, masa pemerintahannya adalah pada tahun 1989-1999.

[8] US State Department Report, Ethnic Cleansing in Kosovo: an Accounting(1999), hal 3.

[9] Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Lembar Fakta HAM edisi II(2004), hal. 269.

[10] 10 November 1999, dalam laporannya ke PBB.

[11] North Atlantic Treaty Organization, didirikan di Washington DC pada 4 April 1949 merupakan organisasi internasional untuk keamanan bersama.

[12] United Nations Departmen  of Public Information, The Millenium Report: the role of the United Nations in the twenty-first century(2001), hal.168.

[13] Pasal 41 Piagam PBB

[14]  Perserikatan Bangsa-Bangsa, Pengetahuan Dasar tentang Perserikatan Bangsa-Bangsa(2001), hal. 119.

[15] United Nations High Commissioner for Refugees, salah satu badan PBB yang bertugas memberikan perlindungan kepada para pengungsi.

[16]  Organization for Security and Co-Operation in Europe, mulai menjalankan misinya di Kosovo pada tahun 1999.

[17] DR. Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global(2005), hal. 284.

[18] Mandat UNMIK di Kosovo telah berakhir pada 10 Desember 2007.